Setiap orang pasti punya mimpi dan cita-cita masa kecil. Begitu pun saya, sejak kecil saya bermimpi menjadi seorang astronot. Saat itu saya mengagumi kehebatan astronot yang bisa melampaui langit hingga ke luar angkasa. Saya pikir astronot adalah cita-cita yang tertinggi karena tidak mungkin ada yang melampauinya. Namun, mimpi itu kian pudar dan kabur. Beranjak dewasa, saya mulai menemukan realita yang lebih nyata. Lulus SMA, kuliah, lulus, kemudian bekerja.
Suatu ketika saya menemukan barang-barang usang di sudut rumah, yaitu sekotak penuh rapido dan penggaris cetakan huruf berbagai ukuran. Ternyata barang tersebut milik mendiang kakek yang tak pernah saya temui. Beliau adalah seorang arsitek, walaupun tidak menyelesaikan studinya di perguruan tinggi negeri, ia aktif mengajar di perguruan tinggi swasta ternama juga aktif menjadi konsultan pengawas konstruksi. Kurang lebih begitu yang diceritakan mama. Seketika tumbuh angan-angan untuk melanjutkan perjuangan mendiang kakek menjadi arsitek.
Tahun 2009, saya mengikuti ujian nasional dan Ujian Saringan Masuk ITB. Dengan angan-angan menjadi arsitek, saya memilih SAPPK dan FTSL sebagai pilihan kedua padahal katanya memiliki passing grade yang lebih tinggi. Alhamdulillah, saya diterima di SAPPK dan setelah 1 tahun menjadi mahasiswa TPB, akhirnya saya diterima di Jurusan Arsitektur. Setiap semester saya disibukkan oleh Studio Perancangan Arsitektur yang sangat menyita waktu, 8 sks setiap minggunya. Berbagai tugas saya lewati mulai dari menggambar paprika, membuat mock up shelter, merancang rumah tinggal, asrama, hotel, kantor, hingga perancangan tribun sirkuit pada tugas akhir.
Tidak terasa, sekarang saya sudah menjalani tahun ke-4 saya, baru saja dinyatakan lulus dari tugas akhir. Tersisa 2 bulan kerja praktik, lalu saya akan menjadi sarjana teknik, dan menjadi arsitek.
Mungkin.
Tetapi saya selalu ingat kata-kata dosen favorit saya, "...setiap orang itu sudah menjadi arsitek, arsitek untuk hidupnya...".