Apa yang kulihat tentu cuma fatamorgana ketika suatu pagi di musim semi, sebuah hutan putih
merembes dari pori-pori aspal yang panas.
Tapi kamu tak pernah berdusta menaburkan suara ribuan burung di udara untuk membuatku percaya
"Apa yang kau dengar adalah apa yang kau lihat."
Tapi aku cuma mendengar 305 hari yang berbeda. Dan jarum jam yang menuju ke segala penjuru.
"Apa kita bicara soal cuaca?"
Kamu mengangguk senang dan mengulurkan tangan melewati dahan-dahan untuk menangkapi ekor
bintang yang melesat lima meter di atas.
“Ini,” katamu, “untuk kau taburkan di sekeliling hutan.”
Maka kita berjalan bersama ke batas di mana semua berakhir. Empat puluh tujuh ke kanan, empat
puluh enam ke depan, dan kembali lagi, sambil menaburkan benih bintang yang segera tumbuh jadi
kursi-kursi, kertas, meja-meja, kembang-kembang dalam pot tanah liat, orang-orang, dan sebilah
sayap pesawat.
“Kita akan merawat semuanya dengan baik.”
Tapi bayangan melenting ke barat, sebelum hujan sempat mendarat.
Dan kamu tak mau percaya bahwa cerita telah lewat.
“Apakah kita bicara soal cuaca?”
Cuaca adalah sesuatu yang pelik.
Apa yang kulihat tentu cuma fatamorgana ketika awan menghapus semua jadi kosong. Tapi kamu
yang tak pernah berdusta menangkap angin dan menjejalkannya di telingaku. Desaunya: “…dulu…
dulu…”
Avianti Armand
No comments:
Post a Comment